Karya : ewanis (PR_J FIRDAUS)
Pranggg..……
Suara ribut-ribut itu sudah menjadi hiburan tersendiri buat
Kaylila. Sudah hampir dua bulan ini suara ribut-ribut itu menghiasi hari-hari
gadis itu. Sumber suara itu berasal dari sebuah piring porselen yang jatuh
menghantam lantai marmer rumah Kaylila.
“Gila kamu ya? Tiap marah semua barang jadi korban. Nggak
piring, nggak gelas, nggak vas bunga, semua dibanting-banting. Maunya apa si
kamu? Hah?!”
“Harusnya aku yang marah. Kamu tuh main perempuan di
belakang aku. Harusnya kamu sadar umur dong. Udah aki-aki juga masih aja maenin
anak gadis orang. Dasar buaya kamu!!”
“Hahaha… Terus kenapa? Hah?! Kamu marah? Nggak terima? Kamu
juga suka maen ama brondong kan di belakangku? Ngaku aja dech!!”
“Emang kenapa? Nggak boleh? Kamu aja punya simpenan kenapa
aku nggak boleh?!!”
“Oke. Nggak papa, aku terima. Liat aja besok undanganku
bakal kamu terima secepatnya.”
“Fine. Tanda tangani dulu surat gugatan ceraiku baru setelah
itu terserah dech maumu, mau nikah lagi kek, mau duda seumur idup juga boleh!!”
Kaylila
diam tak bergeming di atas tempat tidurnya. Perlahan air mata hangat meleleh di
pipinya. Dia memang sudah sering mendengar pertengkaran antara mama dan
papanya, tapi entah mengapa setiap pertengkaran hebat antara kedua orang tuanya
terjadi hatinya perih seperti tertohok oleh samurai. Perlahan-lahan air matanya
surut, diapun beranjak dari tempat tidurnya, dan pergi dari rumah yang buatnya
seperti neraka itu.
Akhir-akhir ini mama dan papa Kaylila lebih sering
bertengkar dibandingkan akur seperti layaknya pasangan suami-istri lainnya.
Mereka tak akur sejak papa Kaylila sering pulang malam dalam keadaan mabuk,
malah kadang papa Kaylila tak pernah pulang ke rumah berhari-hari. Setali tiga
uang dengan papa Kaylila, kelakuan mama Kaylila pun tak bisa sepenuhnya
dibilang baik. Dia lebih sering pergi ke sport centre untuk ngecengin
petugas body trainer di sport centre tersebut. Mereka tak pernah
peduli dengan Kaylila. Mereka cuma memenuhi kebutuhan materi Kaylila, tapi
mereka tak pernah mengurusi Kaylila, mereka tak pernah punya waktu untuk
Kaylila, mereka tak pernah lagi mencurahkan kasih sayang mereka kepada anak
semata wayangnya itu. Mereka sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka
sibuk dengan kesenangan mereka masing-masing tanpa mempedulikan anak mereka.
Sebenarnya keluarga Kaylila adalah keluarga yang bahagia.
Banyak cinta dan kasih sayang di dalamnya, tak ada sedikitpun adu mulut yang
terjadi di keluarga itu. Mereka saling menghormati dan menyayangi satu sama
lain. Tapi itu dulu, saat mereka masih
dekat dengan-Nya, saat mereka masih menjadi kekasih-Nya, saat mereka masih jauh
dari kehidupan serba modern yang jauh dari hedonisme dan kapitalisme. Seiring
berjalannya waktu, seiring berlalunya hari mereka lupa akan Sang Pencipta dan
Pemilik kehidupan ini, mereka telah jauh dari-Nya, mereka lebih sibuk dan lebih
suka melakukan hal-hal yang memuaskan hati mereka dan dapat memenuhi kesenangan
mereka. Mereka tak lagi peduli dengan panggilan-Nya, mereka tak lagi sempat
menyambangi rumah kekasih-Nya itu, mereka tak lagi punya waktu untuk sekedar
membaca satu ayat firman-Nya. Mereka mungkin telah lupa bacaan sholat dan
bahkan mereka mungkin telah lupa bagaimana bunyi syahadatain itu. Hidup memang
tak selalu lurus, kadang ada saja hal yang bisa membuat seseorang berbelok dari
jalan yang lurus itu.
Mobil yang dikendarai Kaylila berhenti di depan sebuah
rumah. Kaylila memarkir mobilnya, lalu masuk ke rumah tersebut. Di dalam rumah
tersebut terdapat banyak pemuda dan pemudi yang kebanyakan berada dalam kondisi
setengah mabuk akibat pengaruh alkohol dan obat-obatan terlarang.
“Hey, Kay, udah dari tadi kita nungguin elo!” kata salah
satu teman cowok Kaylila.
Kaylila cuma tersenyum simpul. Dia kemudian bergabung dengan
teman-temannya yang lain. Salah satu teman Kaylila menyodorkan gelas yang
berisi minuman keras ke Kaylila. Kaylila meneguknya dengan cepat. Lalu dia
mengambil sebutir pil yang tergeletak di antara botol-botol minuman keras dan
dengan cepat menelannya. Setelah itu Kaylila tak ingat apa-apa lagi, dia telah
terbang jauh melupakan kekesalannya kepada kedua orang tuanya. Dia asyik
berpesta miras dan narkoba dengan teman-temannya.
Kaylila telah lama terjun ke dalam dunia ini. Tepatnya setelah dia menerima ajakan kekasihnya,
Gibran, untuk mencoba obat-obatan terlarang itu. Saat itu Kaylila tengah stress
berat karena pertengkaran kedua orang tuanya. Obat-obatan terlarang itu didapat
Gibran dari seorang temannya yang merupakan pengedar narkoba. Kaylila menerima
saja saat Gibran memberikan sebuah pil ekstasi padanya. Yang dia tahu pil itu
bisa membuatnya lebih enjoy dan happy. Setelah itu Kaylila
menjadi kecanduan. Setiap Kaylila pusing dan stress gara-gara masalah orang
tuanya dia selalu datang ke rumah teman Gibran yang merupakan pengedar narkoba
dan miras itu. Seperti saat ini, Kaylila tengah mabuk berat karena dia telah
menghabiskan sebotol minuman keras dan beberapa butir ekstasi. Biasanya Kaylila
akan menginap di rumah temannya tersebut dan dia baru akan pulang ke rumahnya
pada keesokan paginya. Toh, nggak ada yang peduliin aku di rumah, begitu pikir
Kaylila.
Setiap kali Kaylila pulang ke rumah pagi harinya tak ada
seorangpun di rumah. Kedua orang tuanya telah pergi ke tempat kerjanya
masing-masing. Setelah itu biasanya Kaylila pergi ke kamarnya dan mengunci
kamarnya rapat-rapat. Di dalam kamarnya ia menyetel kaset lagu-lagu rock di tape
recordernya keras-keras, kemudian ia menyalakan sebatang rokok dan
menghirupnya dalam-dalam.
Kaylila termasuk mahasiswi yang rajin di kampusnya. Dia
selalu masuk kuliah tiap hari. Tak satupun mata kuliah yang ia tinggalkan. Dia
banyak dipuji teman dan dosennya karena kepandaiannya. Tapi itu dulu, saat
kedua orang tuanya masih akur, saat keluarganya masih rukun, saat cinta
dan kasih sayang masih menyelimuti dan
menjadi temannya. Sejak keluarga Kaylila berantakan kuliahnyapun menjadi
terbengkalai. Dia sering tidak datang kuliah dan hanya sekedar titip absen
kepada teman sekelasnya. Dia tak pernah lagi mengurusi tugas-tugas kuliah yang biasa
ia kerjakan dengan cermat dan teliti. Dia tak peduli dengan nilai-nilai mata
kuliahnya yang jeblok dan absennya yang bolong-bolong. Dia cuma ingin mencari
sesuatu yang mampu membuatnya tenang dan jauh dari masalah, seperti yang dua
bulan ini telah menemani kehidupannya. Dan dia pikir cuma dengan cara ngedrugs
dan ngedrink itulah kehidupannya menjadi tenang dan masalah-masalah
yang selama ini melilitnya melepas ia secara perlahan-lahan.
Setiap hari selalu saja ada pertengkaran di rumah Kaylila,
tak cuma pertengkaran kecil seperti anak kecil yang berebut kelereng, tapi
sebuah pertengkaran yang mahadahsyat yang mampu menyaingi keganasan Perang
Dunia II abad 20. Semua benda pecah belah benar-benar menjadi pecah dan
terbelah-belah. Rumah Kaylila benar-benar disulap menjadi kapal yang terhantam
badai, rusak, hancur, dan berantakan. Di saat seperti itu biasanya Kaylila cuma
bisa diam dan menangis perih. Dia meringkuk di pojok kamarnya sambil menekuk
lututnya dan menyembunyikan wajahnya yang sembab oleh genangan air matanya.
Tapi tidak saat ini, dia bangkit dan beranjak dari peraduannya. Dia berjalan
menuju ke sumber suara keributan itu. Sumber suara keributan itu berasal dari
ruang makan rumahnya. Kaylila terpaku di tempatnya, kakinya kaku, ia tak
sanggup lagi melanjutkan langkahnya, ia juga tak mampu memutar tubuhnya untuk
berbalik ke peraduannya lagi. Ia berdiri kaku tak jauh dari tempat keributan
kedua orang tuanya. Air matanya jatuh setetes demi setetes.
Kedua orang itu tak menyadari kehadiran anak mereka di situ.
Mereka tetap sibuk beradu argumen. Setiap terjadi adu mulut setiap itulah
terjadi peristiwa banting-membanting piring dan gelas.
“Pokoknya kamu ceraiin aku sekarang juga!”
“Nggak! Aku nggak mau bikin Kay stress gara-gara masalah
ini!”
“Nonsense!! Semua omonganmu tuh bulshit! Apa pedulimu sama
Kay?! Kamu tuh cuma peduliin gadis ABGmu itu!!”
“Heh! Jangan sembarangan ya kamu ngomong! Kamu tuh yamg gak
pernah peduliin Kay! Kamu lebih milih mgecengin kembarannya Ade Ray itu
daripada ngurusin anak kita!”
Pranggg………
“Cukup!! Aku capek dengar mama sama
papa berantem terus! Aku bosen! Aku pengen kita kayak dulu lagi. Aku nggak mau
mama sama papa ribut terus. Aku pengen
liat papa sama mama akur lagi,” suara Kaylila terdengar bergetar. Dia
berkata sambil menahan lelehan air matanya. Serpihan vas bunga yang tadi ia banting
berserakan di lantai.
Papa dan mama Kaylila yang tadinya
ngotot dengan argumen masing-masing, kini terdiam. Mereka membisu seribu
bahasa. Mereka seperti anak kecil yang ketahuan mencuri mangga dan dimarahi
oleh si pemilik pohon.
“Maafin mama ya sayang,” mama Kaylila
menghampiri putrinya itu dan mengelus rambut putrinya itu dengan penuh kasih
sayang.
Kaylila terdiam seribu bahasa. Dia
telah kehabisan tenaga. Dia sudah terlalu capek dengan semua ini. Dia lelah
dengan semuanya. Dia mau pergi, pergi sejauh mungkin, sejauh yang ia bisa. Ia
berlari meninggalkan kedua orang tuanya. Ia berlari dan tak berhenti, ia terus
berlari. Yang ada di pikirannya cuma lari dan lari. Dia tak menyadari telah
berapa jauh ia berlari. Ia tak peduli dengan tatapan heran dan bingung
orang-orang yang melihatnya. Dia berhenti di atas sebuah jembatan gantung yang
berdiri di atas sungai yang mengalir deras. Dia kepayahan. Napasnya naik-turun.
Jantungnya berdetak sangat cepat, rasa-rasanya mau copot saja jantungnya. Air
matanya telah kering terbawa angin sore.
Hari telah beranjak petang saat Kaylila
sampai di tempat itu. Suasana di tempat itu sangat tenang dan sepi. Tak banyak
orang yang lewat di jembatan itu. Kaylila memandang ke bawah. Pandangannya
tertuju ke sungai di bawah jembatan itu. Hanya ada satu kata di otaknya :
Loncat! Dengan begitu semua masalah yang dia hadapi akan berakhir. Walaupun
dengan begitu juga hidupnya akan berakhir dengan tragis. Kaylila telah naik ke
pagar pembatas jembatan itu. Dia telah mengambil ancang-ancang untuk segera
terjun bebas dari atas jembatan gantung itu namun, sayup-sayup terdengar sebuah
alunan shalawat yang merdu. Hati Kaylila tersentuh mendengar shalawat itu. Dia
teringat dulu saat papa dan mamanya sering melantunkan shalawat untuknya
sebelum ia tidur. Kaylila mengurungkan niatnya untuk bunuh diri, ia berjalan
mencari sumber suara shalawat itu.
“Sholatulloh salamulloh ‘alaa thohar
rosullillah, sholatulloh salamulloh ‘alaa yasin habibillah, Tawassalna
bibismillah wa bil hadi rasulillah, wa qullimuja hidilillah bi ahlil badriya
allah…”
Kaylila sampai di sebuah surau kecil
tak jauh dari tempatnya tadi. Dia mengambil air wudhu kemudian memasuki surau
itu. Dia menangis sejadi-jadinya di dalam surau itu. Cuma isak tangis dan
desahan napas panjang yang terdengar. Kaylila tak henti beristighfar memohon
ampun atas dosa-dosanya selama ini. Dia sadar kini, dia telah terlampau jauh
dari Kekasihnya itu. Dia cuma mementingkan urusan duniawi yang membuatnya susah
dan payah akhir-akhir ini. Air mata hangat Kaylila mengalir membasahi mukena
yang ia pakai. Hatinya bergemuruh hebat. Ia tak kuasa menahan rasa sakit di
hatinya. Air matanya tak berhenti mengalir. Mulut mungilnya terus beristighfar,
memohon ampun pada-Nya.
Tak jauh dari tempat Kaylila duduk ada
seorang pemuda yang sedang melantunkan shalawat yang tadi Kaylila dengar. Dia
terdiam sesaat saat mendengar isakan Kaylila. Dia menghentikan lantunan
shalawatnya dan berjalan menghampiri Kaylila.
“Assalamu’alaikum ukhti? Ada gerangan
apa ukhti menangis?” tanya pemuda tadi dengan hati-hati.
Kaylila menghapus air matanya dan
tersenyum,”Wa’alaikumsalam. Ceritanya panjang, akhi. Aku nggak tahu harus
darimana aku memulai ceritaku,” pemuda
itu terdiam. “Bolehkah aku tahu namamu?”
“Namaku Azhar.”
“Aku Kaylila, panggil aja Kay. Oh ya, kamu
bisa ngajarin aku bacaan sholat kan?” pinta Kaylila kepada Azhar.
“Insya allah, aku akan mengajarimu
selagi aku mampu,” Azhar tersenyum. Kaylila pun tersenyum.
Sudah tiga hari ini Kaylila tinggal di
rumah Azhar. Rumah Azhar terletak tak jauh dari surau kecil tempat mereka
bertemu pertama kali. Azhar hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya telah
meninggal sebulan yang lalu karena penyakit liver. Kaylila berubah menjadi
seorang muslimah yang taat dan sholikhah. Hari itu Kaylila sedang membantu Ibu
Nisa, ibunya Azhar memasak makan siang di dapur. Azhar telah berangkat kuliah
sejak pagi tadi.
Di sudut lain kedua orang tua Kaylila sangat
terpukul dan bersedih atas kaburnya Kaylila dari rumah. Sudah tiga hari ini
mereka berusaha untuk mencari Kaylila namun usaha mereka selalu nihil. Tak ada
seorangpun yang tahu dimana Kaylila berada. Semua teman dan dosennya pun turut
bersedih atas hilangnya Kaylila.
Suatu sore yang cerah. Kaylila dan
Azhar sedang duduk-duduk di surau. Kaylila tengah bercerita tentang masa
lalunya. Seringkali terlihat Kaylila tertawa karena lelucon yang diceritakan
Azhar. Mereka tak sadar jauh di lubuk hati mereka masing-masing telah tumbuh
benih-benih cinta. Suatu rasa yang tak dapat didefinisikan dengan kata-kata.
Suatu rasa cinta yang hakiki dan suci karena Allah ta’ala.
Hari ini hari Ahad. Kaylila membantu
Azhar untuk membersihkan surau. Mereka tampak bekerja dengan giat. Hari
beranjak siang saat mereka hampir menyelesaikan pekerjaan mereka. Kaylila
kembali ke rumah Azhar untuk mengambil air minun untuknya dan Azhar. Saat
Kaylila sedang mengambil air minum datanglah sepasang suami-istri ke surau itu.
Mereka terlihat sangat letih. Telah setengah hari itu mereka berkeliling kota
untuk mencari anak mereka.
“Assalamu’alaikum. Apa gerangan yang
membuat bapak dan ibu sampai ke surau kami ini? Kelihatannya bapak dan ibu
bukan orang sini.”
“Wa’alaikumsalam. Kami sedang mencari
putri kami yang telah beberapa hari ini menghilang. Barangkali kamu tahu dia,”
orang itu menyodorkan sebuah foto seorang gadis ke Azhar.
Azhar mengamati foto itu dan terkejut,”
Ini kan Kaylila.”
“Jadi kamu kenal anak saya? Mana dia
sekarang? Apa kamu tahu dia dimana? Katakan, Nak, dimana Kaylila.”
Tiba-tiba Kaylila datang membawa sebuah
nampan yang berisi air putih dan pisang goreng. Dia kaget saat melihat Azhar
tengah berbincang dengan kedua orang tuanya.
“Papa, mama,” cuma dua kata itu yang
dapat keluar dari mulut Kaylila.
Mama Kaylila menghambur memeluk
Kaylila,”Sayang, maaafin mama sama papa ya? Kita janji kita nggak akan
bertengkar lagi. Dan kita juga janji kita nggak akan bercerai.”
“Serius, Ma?” Mama Kaylila mengangguk.
Kaylila sangat bahagia mendengar semua itu. Dia yakin mulai detik itu
kehidupannya akan kembali normal seperti dulu. Penuh cinta dan kasih sayang.
Kaylila memeluk erat mamanya.
“Aku cuma mau bilang makasih karena
kamu udah mau ngajarin keluargaku sholat dan ngaji.”
“Sebagai sesama muslim kita wajib
saling menolong, Kay.”
“Aku bahagia banget sekarang.
Keluargaku telah utuh dan kembali dipenuhi Rahmah-Nya.”
“Bersyukurlah kepada Allah ta’ala, Sang
Pencipta dan Pemilik kehidupan ini.”
“Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih
ya Robb karena Engkau telah menyatukan kembali keluarga hamba, Engkau telah memberikan
hidayah-Mu kepada kami, dan yang terpenting Engkau telah mengirimkan seorang
hamba-Mu untuk menuntunku menuju cinta-Mu yang hakiki,” Kaylila tersenyum di
akhir ucapannya. Azharpun tersenyum bahagia mendengar kata-kata Kaylila itu.
“Kay,” Azhar memanggil Kaylila dengan
lembut.
“Ya,” mereka kini bertatap muka. Lalu,
Azhar membuang mukanya ke arah lain. Dia dapat merasakan jantungnya yang
berdetak sangat kencang. Dan aliran darahnya yang berdesir sangat cepat.
Otaknya seketika beku. Lidahnya menjadi kelu. Keringat dingin menetes di
dahinya.
“Ada apa, Az?” tanya Kaylila yang
melihat Azhar membuang muka dan terbungkam.
Azhar mengumpulkan segenap kekuatannya.
Bismillahirrahmanirrahim. “Kay, maukah kamu
menjadi pelengkap tulang rusukku? Maukah kamu mejadi pendampingku untuk
memenuhi tugasku sebagai seorang muslim yang sejati?”
Kaylila terdiam. Dia kaget. Dia tak
pernah mengira kalau Azhar menyukainya seperti dia yang mengagumi Azhar.
“Gimana aku jawab ini ya Allah, ini benar-benar pertanyaan yang sulit. Semoga
apa yang akan ku lakukan ini mendapatkan berkah-Mu. Berikan hamba-Mu ini yang
terbaik ya Robb. Amin.” Kaylila memantapkan hati dan niatnya.
“Kalau kamu memang serius lamar aku ke
kedua orang tuaku.”
Senyum Azhar mengembang. Dia sangat
bahagia mendengar jawaban Kaylila. Itu artinya selangkah lagi dia akan
mendapatkan pujaan hatinya itu. Pujaan hati yang ia cintai karena Allah. Pujaan
hati yang makin mendekatkan dirinya kepada Sang Khalik.
Kaylila berdoa dalam hatinya,” Izinkan
aku mencintai-Mu melebihi segala apapun yang ada di dunia ini. Izinkan aku
mencintai semua perkara yang menambah kecintaanku pada-Mu. Izinkan aku
mencintai hamba-Mu yang mencintai-Mu melebihi kecintaannya kepada isi dunia
ini. Amin.” Kaylila tersenyum. Tuhan masih sangat mencintainya.
0 komentar:
Posting Komentar